Minggu, 13 April 2014

PEDULI TANAH LONGSOR KP. GOMBONG SUKAMAKMUR CITEUREUP BOGOR

Kali ini aku ingin mempublikasikan beberapa foto terkait tanah longsor di kampung Gombong desa Cibadak Citeureup Bogor. Awalnya aku dan saudaraku secara tidak sengaja melewati jalan alternatif Cianjur- Bogor via Tajur Citeureup sepulang dari weekend di Cibodas yang ternyata terputus akibat longsor. Sangat mengerikan, kondisi rumah warga dan fasilitas umum hancur berantakan. Karena kondisi saat itu gelap, aku hanya bisa melihat sebagian bangunan yang hancur. Maka aku putuskan tanggal 12 April lalu untuk kembali ke sana agar lebih memuaskan rasa ingin tahuku tentang seberapa besar kekuatan longsor itu. Dan berikut beberapa foto yang sengaja aku abadikan.
Kondisi desa yang luluh lantak akibat tanah longsor
Tebing yang terbentuk akibat pergeseran tanah
Kondisi jalan yang semula masih rata, kini hancur tak berbentuk
Aku dan Imam, salah seorang anak dari warga yang menjadi korban longsor tengah menyaksikan kondisi masjid yang posisinya sudah miring 30 derajat
Jembatan yang terputus akibat longsor, kini sudah dibangun jembatan darurat
Kondisi salah satu rumah warga yang rata dengan tanah
Kondisi yang sangat memprihatinkan, seorang anak tengah mengumpulkan barang apa saja yang bisa dijual diantara reruntuhan puing bangunan
Bercengkrama dengan anak anak korban tanah longsor
Kondisi rumah warga yang hancur
Terlihat seorang wanita tengah mengumpulkan batu bekas jalan yang rusak

Kondisi jalan yang semula rata kini sudah berantakan

Dari sinilah kita bisa belajar dan merenungkan bahwa alam kita harus senantiasa dijaga dan kita sebagai khalifah di bumi wajib mengelolanya secara bijak. Renungan buat kita semua, salam

Jumat, 11 April 2014

BERSAMA RUBEN BARCELONA HARIANDJA PEMILU LEGISLATIF 2014 RANGKASBITUNG

Hari ini, 9 April 2014 bertepatan dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif. Sebagai anak perantauan yang jauh dari domisili di Bogor, aku memilih "golput". Bukan karena aku tidak menyukai sistem pemilu di Indonesia, melainkan hanya karena masalah teknis semata. Untuk mengisi waktu libur mendadak ini, aku bersama Ruben Barcelona Hariandja, teman satu kost-an, berencana berkeliling kota kecil Rangkasbitung. Inilah beberapa hasil jepretanku di sekitar alun alun Rangkasbitung.


Jalan menurun menuju kostan pak Ebes
Jalan Abdi Negara, namanya juga kota kecil, sepi sekali, padahal jam sudah menunjukkan pukul. 10.00 pagi
Inilah Ruben B Hariandja, teman kostanku
 Ruben, pria Bandung berdarah Batak yang doyan ngomongin politik
Bangunan sisa peninggalan kolonial yang sudah dirobohkan, lokasinya berada di depan kantor PDAM
Gedung BAZDA, lokasinya berada di samping kantor bank bjb BPKAD Lebak, dan di depan Kantor Bupati Lebak
Inilah kantor bank bjb BPKAD Lebak, di mana aku mengabdi, berada tepat di depak Kantor Bupati Lebak
Kemegahan Kantor Bupati Lebak yang tidak diiringi dengan kesejahteraan masyarakatnya
Kantor Bupati Lebak, terlihat seorang anggota PNS tengah berjalan di samping kantor Iti Jayabaya, Bupati Lebak yang baru saja terpilih
Alun alun Rangkasbitung berlatar belakang Masjid Agung Al Araaf 
Gedung BAZDA kabupaten Lebak
Jalan Kapugeran Rangkasbitung
Jalan setapak yang sengaja dibuat di sekitar alun alun Rangkasbitung
Bank bjb BPKAD Lebak
Permen Mentos di Rangkasbitung
Menemukan 3 orang anak di dekat pos polisi
Gedung peninggalan kolonial yang kini dijadikan pengadilan anak
Ruben galau tidak bisa menggunakan hak pilihnya saat pemilu Legislatif
Jalan Abdi Negara berdiri kantor Bupati dan kantor DPRD
Di sinilah nanti wakil rakyat duduk dan berpura pura mewakili rakyat, upss...
Gedung DPRD kabupaten Lebak, berdiri tahun 1932, awalnya bernama contracten administratie yang berfungsi untuk mengurusi administratif kontrak perkebunan di daerah Banten Selatan
Halaman kantor Bupati Lebak
Terlihat anak anak tengah bermain sepeda di depan kantor KPU kabupaten Lebak yang dijaga mobil water canon Polres Lebak
Satpol PP kabupaten Lebak
Terakhir, tidak lupa berziarah sejenak ke makam pahlawan kabupaten Lebak. Kemerdekaan yang telah kalian dapatkan semoga bisa dijaga oleh para masyarakat Lebak, khususnya wakil rakyat yang nanti duduk di kursi dewan. Semoga

Itulah beberapa gambar yang sengaja aku abadikan, semoga bermanfaat dan bisa dijadikan referensi bagi kita semua. Salam 

Kamis, 03 April 2014

THE JOURNEY OF MAKAM PILAR ASTANA VAN MOTMAN LEUWISADENG BOGOR

Pagi itu sekitar pukul 08.00, aku bertolak dari tempat tinggalku di Cibinong, Bogor menuju ujung barat kabupaten Bogor, tepatnya kecamatan Leuwisadeng.
Saya yang sangat tampan ini, terlihat berada diantara nisan makam tuan tanah Belanda

Di sanalah target petualanganku berburu peninggalan sejarah Indonesia kali ini.
Seperti daerah lainnya di Indonesia yang pernah ditinggali oleh Belanda, Bogor memiliki banyak warisan unik dari jaman kolonial. Banyak warisan peninggalan Belanda yang masih berdiri dan hingga kini masih digunakan, namun banyak juga sisa-sisa peninggalan yang tidak dikelola dengan baik, diabaikan dengan masa depan yang tidak jelas. Salah satu warisan sejarah peninggalan masa lalu yang memiliki sejarah panjang dan meninggalkan banyak aset adalah warisan keluarga van Motman yang salah satunya adalah makam keluarga Van Motman. Makam ini terletak di dusun pilar di desa Cibanteng, Kecamantan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, kurang lebih sekitar 25 Km dari Bogor ke arah Jasinga.

Bangunan utama, di sinilah jenazah mumi van motman disemayamkan

Makam keluarga Van Motman ini bukan termasuk jenis makam secara umumnya, karena di komplek ini berdiri sebuah kubah besar yang dibangun oleh Mr Motman untuk "membaringkan" sisa-sisa anggota keluarganya, jenazah-jenazah ini tidak dikubur dalam tanah tetapi dilestarikan dan dimasukan kedalam kotak kayu dengan penutup kaca.  Itulah sebabnya warisan yang berharga dari Van Motman adalah sebuah makam, satu-satunya yang hanya berada di Bogor dan tidak bakalan ditemukan di tempat lain di Indonesia.
Papan nama menuju makam Van Motman




ASAL MULA KELUARGA VAN MOTMAN

Yang pertama tentu saja Van Motman ini adalah nama kepanjangan dari seorang Belanda ( marga ). Orang yang pertama kali datang ke Bogor yang waktu itu masih bernama Buitenzorg adalah Gerrit Willem Casimir Van Motman, yang lahir pada 11 Januari 1773 di Genneperhuis.
  Ia adalah anak bungsu dari keluarga yang sebagian besar anggotanya telah meninggal dunia akibat Tuberkulosis. Karena negaranya mengalami stagnasi akibat invasi Perancis, maka pada usia 17 tahun, GWC mencoba peruntungan bergabung dengan VOC, berlayar ke Hindia Belanda memulai karir sebagai administrator gudang VOC.  Lalu akhirnya di Buitenzorg (nama kota Bogor pada masa Belanda) setelah VOC bangkrut, GWC menjadi tuan tanah di Buitenzorg dengan kepemilikan atas tanahnya yang cukup luas di Kota dan Kabupaten Bogor pada waktu itu ( Buitenzorg ).
Sekitar 12.596 hektar tanah di Nangoeng pada tahun 1880 semuanya dikuasai oleh keluarga van Motman. Jumlah keselurhan tanah yang dimiliki oleh keluarga van Motman di Buitenzorg dan sekitarnya bekumlah total 117.099 hektar, yang meliputi Semplak, Kedong Badak, Roempin, Tjikoleang, Trogong, Dramaga, TJiampea, Djamboe, Nangoeng, Bolang, Djasinga, Podok Gedeh, Pasar Langkap dan ROsa di Gunung Preanger, juga Tjikandi Ilir dan Tjikandi Oedik di Bantam. Tanah-tanah tersebut dibudi dayakan sebagai perkebunan kopi, teh, kina, karet, tebu dan sawah.

Keluarga van motman di Dramaga Bogor, sekarang IPB

Pada saat hidupnya, ia memiliki rumah di daerah Dramaga yang disebut Groot Dramaga atau Big Dramaga. Disebut Groot Dramaga karena rumah itu ukurannya besar, memiliki 20 kamar. Rumah yang lain terletak di daerah Djamboe. Namun rumahnya yang masih berdiri hingga saat ini hanya yang di Dramaga.

Cateau van Kerkhoven, salah satu trio tuan tanah di Jawa Barat selain Bosca dan van Motman , menggambarkan keindahan Groot Dramaga dalam suratnya kepada anak-anaknya di Belanda, “Rumah Dramaga ini indah, semua marmer putih dan dinding putih, teras depan memiliki pemandangan indah. Dan keseluruhan terasa menghibur. Ada sebuah kolam renang besar di mana air mengalir dengan curah air yang besar dan di sisi lain dibuang melalui sebuah lubang. “

Seorang cucu  van Motman pernah menulis surat kepada saudaranya menggambarkan tentang kecantikan Groot Dramaga, .. Aku bisa menggambar denah keseluruhan dan arsitektur Dramaga (dengan memakai) penutup mata. Aku ingat setiap kamar dengan baik, dan setiap pohon di taman, boengoer dekat lonceng besar, pohon doekoe, rempah-rempah, semak, pala, pakis yang indah dan begonia di pot bunga, kuda-kuda dan kereta. Kuda belang-belang selalu membuat saya kagum dan empat kuda poni melesat begitu cepat sepanjang jalan ….”

Ketika memasuki Groot Dramaga yang sekarang bernama Landhuis dan digunakan sebagai guesthouse sekaligus klub dosen IPB bersama Antoni Holle, salah seorang keluarga van Motman, saya tidak menemukan marmer dan dinding putih, kolam  besar dan taman indah dengan rupa-rupa tanaman seperti yang diceritakan dalam kutipan di atas.  

Kondisi makam yang tidak terawat
 Groot Dramaga yang sekarang bentuknya berubah karena telah mengalami beberapa kali renovasi. Hanya langit-langit  dan pintu kamar yang tinggi yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah warisan Belanda

Dramaga dahulu terkenal dengan sebutan Liberia-koffie-aanplantingen atau Perkebunan Kopi Liberia.  Awal mula tanaman yang ditanam setelah GWC menjadi tuan tanah adalah kopi. Karena tidak menguntungkan maka ditanam gula lalu beralih ke tanaman teh. Walaupun reputasi teh sangat baik namun produksi hancur gara-gara terjangkit wabah lalat hitam, lalu akhirnya terakhir di Dramaga ditanamlah pohon karet. 


Ketika Pulau Jawa berada dibawah aturan Daendels (1808-1811). GW CAsimir adalah  seorang tuan tanah di sebelah timur dari Bogor, tepatnya di daerah Dramaga, Jambu dan J
asinga. Jika sobat kang-mas-awan.blogspot.com ingin mengetahui lebih banyak mengenai kepemilikan rumah Mr Motman di Afdeling Jambu ( lahan pertanian/perkebunan) silahkan kunjungi situs web www.uwstamboomonline.nl yang menyebutkan bahwa ada empat dari anak-anaknya yang lahir di daerah ini antara 1811-1814.

Sejak tahun 1811, sebagian lahan yang berada di daerah Jambu ini mulai digunakan untuk pemakaman. Saat itu putri GW Casimir yang bernama Maria Henrietta van Motman diberangkatkan dan distirahatkan disini pada bulan Desember 1811, kemudian delapan dari 12 orang anak van Motman dikuburkan di pemakaman keluarga Jambu ini. Diantara kedelapan orang ini, hampir semuanya meninggal pada usia yang sangat muda, yang rata-rata masih berusia balita lebih tepatnya berusia dibawah lima tahun. Hanya satu orang yaitu Petrus Cornelis yang meninggal pada usia tua. Dia meninggal pada usia yang ke 82 tahun. Kemungkinan si Peter Cornelis ini merupakan salah satu keturunan Mr Motman yang dimumikan dibaah kubah makam Jambu ini. 

Selain anak-anaknya, juga cucu dan dua mertua van Motman turut dimakamkan disini. Cucu dengan nama yang sama dengan kakeknya ini beristirahat disini pada 2 September 1831 saat ia berusia lima tahun. Sementara putri sahnya, yaitu Jacoba DJiem, yang juga istri dari Petrus Cornelis beristirahat disni pada 14 Agustus 1877, yang lainnya adalah Johanna Maria Lousie Quentin, istri dari Jan Casimir Theodorus van Motman yang meninggal pada 13 September 1855 ketika baru berusia 27 tahun. 

Semenjak itulah pemakaman ini diberi nama kuburan Belanda, dengan jumlah hampir mencapai 33 orang yang dimakamkan disekitar kubah makam. Namun hingga kini masih belum diketahui secara pasti siapa saja mereka yang dimakamkan diwilayah ini. Apakah termasuk kerabat dari keluarga Motman atau tidak. 

Sementara keberadaan makam sang tuan tanah Dramaga GWC sendiri masih belum jelas dimana lokasi tepatnya. Hanya sebuah kabar yang menyatakan bahwa ia meninggal dunia pada 25 Mei 1821 di Dramaga dan dimakamkan di Jasinga. Apakah ini identik dengan makam yang berada di daerah Jambu, hingga kini tidak ada informasi yang tersedia. 

Yang pasti sampai tahun 1965 sisa-sisa dari empat anggota keluarga van Motman ini masih terliha di dalam kota kaca tertutup didalam gedung mausoleum dan sebagaimana kuburan Belanda lainnya, makam ini juga dibangun dengan arsitektur yang indah menggunakan ubin dan marmer untuk batu nisannya serta makamnya.
Kemegahan makam van motman
Tanganku keren
Dinding sebelah timur

Lumut dan rumput yang tumbuh di nisan
Sungguh sangat disayangkan, seandainya pemerintah kota Bogor lebih memperhatikan cagar budaya ini.
Hanya orang tertentu yang bisa menikmatinya, berikut beberapa foto yang sengaja aku abadikan saat berada di lokasi makam.

Pohon pisang di lokasi makam

Kondisi makam
Hewan melata yang hidup dan berkembang biak di sekitar makam

Sejenis ulat berbulu
Komplek makam yang tak terawat

Di sinilah papan nama yang kini sudah dicuri
Salah satu nisan yang hampir roboh
Struktur makam yang sangat kuat
Si tampan, ya aku sendiri, berdiri diantara pilar-pilar makam keluarga van motman
Jalan setapak di depan makam
Pintu gerbang makam Van Motman
Ada lebih dari 30 pilar semacam ini
Di depan bangunan utama tertuliskan FAM:P.R.v Motman
Tempat mumi disemayamkan
Kondisi makam
Atap bangunan utama
Langit-langit bangunan utama makam Van Motman
Kain terakhir yang dipakai oleh jenazah wanita sekitar tahun 1800


























Kain tenun asli dari Belanda yang dipakai salah satu jenazah wanita yang dimumikan


Inilah penemuan paling fenomenal di lokasi pemakaman keluarga Van Motman, sisa tulang persendian tangan jenazah yang dimumikan
Jaringan tulang persendian yang masih utuh akibat dimumikan. Inilah tulang sang tuan tanah Van Motman